Jumat, 30 Juli 2010

Musik Klasik


Posted in Art by zendsud on the July 17th, 2010
       Apa itu musik klasik, dan komposisi seperti apa sih yang layak digolongkan sebagai musik klasik? Genre musik yang satu ini memang sering mengundang salah pengertian dimata mereka yang “awam”. Biasanya jenis musik ini dianggap identik dengan musik yang dimainkan oleh orkestra. Stereotip ini tidak selamanya benar, sebagaimana pengertian orkestra yang melulu diartikan sebagai musik yang dimainkan oleh sepasukan musisi dengan didominasi oleh alat musik gesek (string). Kenyataannya, gamelan itu juga orkestra koq.
Dalam pengertian aslinya, musik klasik adalah komposisi musik yang lahir dari budaya Eropa sekitar tahun 1750-1825. Biasanya musik klasik digolongkan melalui periodisasi tertentu, mulai dari periode klasik, diikuti oleh barok, rokoko, dan romantik. Pada era inilah nama-nama besar seperti Bach, Mozart, atau Haydn melahirkan karya-karyanya yang berupa sonata, simfoni, konserto solo, string kuartet, hingga opera. Namun pada kenyataannya, para komposer klasik sendiri tidak pernah menggolong-golongkan jenis komposisi yang mereka gubah. Penggolongan yang kita kenal sekarang dilakukan semata-mata untuk mempermudah, terutama untuk kepentingan akademis.
Ada pula pengertian lain dari musik klasik (walaupun yang ini jarang dipakai), yaitu semua musik dengan keindahan intelektual yang tinggi dari semua jaman, baik itu berupa simfoni Mozart, kantata Bach atau karya-karya abad 20. Istilah “keindahan intelektual” itu sendiri memiliki pengertian yang relatif bagi setiap orang. Dalam pengertian ini, musik dari era modern seperti Kitaro, Richard Clayderman, Yanni, atau bahkan Enya, juga bisa digolongkan sebagai musik klasik, tergantung dari sisi mana kita menikmatinya. Kalau kita lebih banyak menikmati elemen intelektual – dalam pengertian melodi, harmoni, atau aspek komposisi lainnya, maka jadilah ia musik klasik. Tapi kalau kita berpegang pada pengertian yang pertama tadi, maka jelas jenis musik ini tidak masuk dalam pengertian musik klasik. Untuk ini tersedia genre tersendiri, yaitu “new age”, atau terkadang juga digolongkan sebagai “art music”.
Kalau begitu, apakah musik yang sering dibawakan oleh orkestra Indonesia, Twilite misalnya, juga digolongkan sebagai musik klasik? Nah, persoalannya disini adalah kesalah-kaprahan yang terlanjur melekat sebagaimana yang ditulis diatas tadi. Twilite memang sering mendapat kritikan dari kalangan “mainstream” pecinta musik klasik, karena lebih banyak menyajikan musik pop yang dibungkus dalam kemasan klasik. Betulkah? Kenyataannya, Twilite memang bukan berada pada jalur musik klasik murni – walaupun dalam satu-dua kesempatan mereka juga mempagelarkan musik klasik. Yang biasa dipentaskan oleh Twilite sebenarnya adalah musik simfonik, atau Pops (pakai ‘s’; merujuk pada musik pop dengan sentuhan aransemen simfonik-orkestra). Dengan demikian, yang salah adalah pengeritiknya yang justeru kurang paham pengertian musik klasik yang sebenarnya (kenyataannya, Twilite memang tidak pernah menyatakan kalau mereka mempagelarkan musik klasik).
Namun demikian, kritikan terhadap kelompok orkestra kita kadang-kadang ada benarnya juga. Misalnya, adalah “tabu” bagi sebuah orkestra profesional untuk memboyong alat musik semacam syntesizer (sebagai pengganti piano), atau gitar elektrik (untuk menggantikan gitar akustik) dalam pementasan, hal mana sering dipraktekkan oleh kelompok orkestra di negeri kita. Juga ada kritikan tentang soal yang rada-rada teknis, seperti peran konduktor, etika penonton, dan beberapa hal lain. Belum lagi soal pemain yang itu-itu saja. Tapi bagaimanapun, usaha untuk mengenalkan musik yang lebih “cerdas” untuk masyarakat kita perlu dihargai. Masak sih, kita mau terus-terusan dicekoki musik dengan model goyangan yang makin lama makin norak itu!

Daftar Pemenang Terfavorit ICEMA 2010

1. Favorite Alternative Song:
“Kenakalan Remaja di Era Informatika” - Efek Rumah Kaca
2. Favorite World Music Song:
“Hello Sallamualaekum” - Tompi
3. Favorite Singer/Songwriter:
Adhitia Sofyan - “Adelaide Sky”
4. Favorite Rock Song:
“Money Making” - The S.I.G.I.T.
5. Favorite Reggae and Ska Song:
“Honey” - Shaggydog
6. Favorite Punk/Hardcore Song:
“Kuat Kita Bersinar” - Superman Is Dead
7. Favorite Pop Song:
“Pilihanku” - Maliq N D’Essentials
8. Favorite Metal Song:
“Manufaktur Replika Baptis” - Dead Squad
9. Favorite Comedy Song:
Jiung - “Nang Ning Nung – Versi Gambang Kromong”
10. Favorite Jazz Song:
“Mati Saja” - Barry Likumahuwa
11. Favorite Folk / Country Song:
“Menari” - Tigapagi
12. Favorite Electronics Song:
“Interval” - Goodnight Electric
13. Favorite Blues Song:
Gugun and Blues Shelter - “When I See U Again”
14. Favorite Emo Song:
“Torment” - Killing Me Inside
15. Favorite Hip Hop / R&B Song:
“Ku Ada Bagimu” - J. Flow
16. Kategori Favorite Dance Song:
DJ Riri Mestika - “Last Call”
17. Favorite Artwork from Album:
“The Angels and The Outsider” - Superman Is Dead
18. Favorite Album Packaging:
“Mata Hati Telinga” - Maliq N D’Essentials
19. Favorite Solo Artis/Band:
Adhitia Sofyan
20. Kategori Favorite Band Group or Duo
Superman Is Dead

Penghargaan Bermartabat ICEMA 2010

Oleh : Wendi Putranto

Foto : The S.I.G.I.T. (Wendi Putranto)
Bookmark and Share
“Setelah berkarir selama 32 tahun di musik, baru kali ini saya menerima award yang bermartabat,” ujar Fariz RM bangga saat menerima penghargaan khusus Lifetime Achievement dari atas panggung Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) 2010 pada Minggu (18/7) malam lalu di Epicentrum Walk, Jakarta.

“Terima kasih kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rock & roll bagi kita semua.... Pesan saya, kita boleh suka dengan lagu-lagu mancanegara, tapi kita harus bangga atas lagu-lagu bangsa sendiri,” imbuh Fariz yang malam itu tampak “gondrong” dengan kemeja merah menyala.

Fariz RM menerima penghargaan ini atas dedikasi dan kontribusi selama puluhan tahun bagi perkembangan musik Indonesia. Ia dianggap sebagai musisi pendobrak yang tidak pernah berhenti berproses kreatif dengan musisi-musisi muda hingga kini.

Malam puncak penganugerahan karya musik alternatif tahunan yang bersejarah karena baru pertama kalinya diadakan tanahair tersebut berlangsung sukses dan cukup meriah.

Kehebohan acara ini bahkan hingga mencatat rekor peringkat 5 trending topics selama 6 jam di Twitter. Tercatat tidak kurang 11.000 viewers dari seluruh dunia menyaksikan acara ini via Live Streaming dan 396,265 pengunjung yang berkunjung ke situs http://www.icema.co.id dalam kurun waktu 2 bulan saja.

Selain menampilkan berbagai kolaborasi artis yang menarik, ICEMA 2010 juga menyerahkan 3 trofi khusus, 9 trofi pendatang baru dan 20 trofi kepada artis-artis terfavorit yang telah dipilih secara online oleh 42.000 penggemar mereka masing-masing melalui platform Microsoft Windows Live.

“Dukungan penggemar setia menentukan ‘nasib’ seluruh nominator dan bagaimana mereka bisa bertahan hingga tahap akhir program ICEMA 2010. Publik saat ini sudah sedemikian kritis dan matang dalam memberikan apresiasi pada karya-karya musik, sesuai selera mereka,” cetus Denny Sakrie, pengamat musik senior yang juga Ketua Dewan Kategorisasi ICEMA 2010 saat konferensi pers acara.

Penghargaan terbanyak di ICEMA 2010 diraih oleh band Bali, Superman Is Dead yang menerima 3 trofi untuk kategori Favorite Punk/Hardcore Song, Favorite Album Artwork, Favorite Band, Group or Duo.

Penghargaan khusus Inspiring Artist ICEMA 2010 diberikan pula kepada band Bandung, PAS yang sekitar 16 tahun lalu telah memberikan inspirasi untuk bermusik secara mandiri bagi generasi musisi selanjutnya di tanahair dengan merilis album For Through The Sap. Yukie, vokalis PAS menerima penghargaan ini mewakili teman-temannya yang kebetulan berhalangan hadir.

Puncak penghargaan ditutup dengan penyerahan trofi The Best Album ICEMA 2010 bagi album Kamar Gelap dari Efek Rumah Kaca. Penghargaan ini diberikan tanpa melalui voting online melainkan hasil pilihan Dewan Kategorisasi ICEMA 2010 yang terdiri dari Denny Sakrie, Adib Hidayat (managing editor Rolling Stone Indonesia), Sandra Asteria (music director Trax FM), Eric Wiryanata (penulis dan pemilik DeathRockStar.info) dan Indra Ameng (kurator Ruang Rupa).

Acara yang sempat ngaret cukup lama ini dibuka dengan penampilan legenda indie pop lokal, Pure Saturday yang kemudian segera disusul dengan penampilan band metalcore yang telah melanglang buana ke negeri Kangguru, Burgerkill.

Beragam penampilan kolaborasi yang seru juga terjadi di acara ini dan cukup menjadi highlight. Kolaborasi Jiung, Yacko dan Gugun (dari Gugun Blues Shelter) yang secara ajaib memadukan blues, rap dengan gambang kromong cukup membuat para penonton terburai tawa. Begitu pula dengan kolaborasi ska-core Superglad dan The Authentics yang mengaransemen ulang nomor legendaris “Impresi” milik PAS dalam bentuk baru yang sangat menyegarkan.

Namun tiga kolaborasi yang paling berbahaya pada malam itu justru datang dari Notturno, Anda, Mian Tiara dan Leonardo yang mengaransemen ulang nomor klasik "Susie Bhelel" milik Fariz RM selaras dengan tema malam ini, cutting-edge. Kolaborasi unik dari Tika and The Dissidents, Kuno Kini, The Trees and The Wild juga menjadi highlight pada malam itu. Acara ICEMA 2010 ditutup dengan kolaborasi seru rock & roll/jazz/blues antara The Flowers, Adrian Adioetomo dengan Indra Lesmana membawakan single favorit “Rajawali”.

Berbeda dengan ajang penganugerahan musik lainnya yang kerap monoton, maka Soleh Solihun (editor Rolling Stone Indonesia) yang menjadi host ICEMA 2010 pada malam itu selama lebih kurang 4 jam menghibur para penonton dengan guyonan-guyonan cutting-edge khas dirinya yang cerdas sekaligus sarkas.

Namun Rolling Stone sempat mendengar beberapa penonton perempuan yang complain dengan gaya Soleh membawakan acara. Mereka berkomentar bahwa celotehan keras Soleh kemungkinan besar akan membuat para sponsor menarik dukungannya dari ajang penghargaan ini tahun depan. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa ajang penghargaan ini menjadi kurang elegan akibat celotehan host yang kerap mencela para pemenang penghargaan.

Selain host yang tampak lepas kontrol dan membuat acara ini menjadi ngalor ngidul tidak karuan, kelemahan lainnya dari ajang ICEMA 2010 ini jatuh pada akustik ruangan yang sangat buruk sehingga sistem tata suara yang keluar dari seluruh pengisi acara bergaung sepanjang acara berlangsung. Epicentrum Walk ini memang sepertinya tidak didesain untuk menjadi venue konser atau yang sejenisnya.

Kondisi venue yang minus pendingin udara juga membuat para undangan yang tidak terlalu banyak hadir tersebut menjadi kegerahan. Selain itu posisi panggung pertunjukan dengan mimbar yang letaknya cukup jauh membuat fokus penonton seringkali terpecah.

Kelemahan lainnya ICEMA 2010 juga terletak pada para artis penerima penghargaan yang tidak mampu memberikan pidato yang “berisi” ala Fariz RM atau menghibur seperti Goodnight Electric. Kebanyakan mereka hanya mampu berbicara basa-basi seperti layaknya pidato kepala sekolah di setiap upacara awal pekan. Padahal salah satu highlight dan kejutan dari ajang penghargaan seperti ini biasanya juga hadir pada momen-momen pidato kemenangan tersebut. Mungkin sudah saatnya anak-anak indie ini belajar public speaking di John Robert Powers?

EXCLUSIVE: Pengakuan Kikan

Alasan mundur dari Cokelat, hubungan persahabatan mereka kini dan opininya tentang vokalis baru.
Oleh : Wendi Putranto
Foto : Cokelat Management
Bookmark and Share
Hanya sehari setelah para personel Cokelat membeberkan secara eksklusif kepada Rolling Stone bahwa vokalis mereka, Kikan, telah resmi berpisah sejak akhir Maret 2010 lalu, mendadak akun Twitter pribadi miliknya (@KikanNamara) berhenti berkicau. Tak ada update sama sekali dari Kikan yang mengonfirmasi kabar hengkangnya ia dari Cokelat.

Kontras sekali jika dibandingkan dengan akun Twitter milik para personel Cokelat lainnya, gitaris Edwin (@Edwin_Cokelat), bassist (@ronnycokelat), gitaris Ernest (@ernestcokelat) yang terlihat sibuk membalas satu persatu pesan dari para Bintang Kita (julukan bagi fans Cokelat) menyangkut kabar hengkangnya Kikan dan drummer Ervin dari Cokelat.

Kikan baru menjawab permohonan untuk bersedia diwawancara melalui balasan direct message di Twitter. Ini setelah upaya menelepon dan sms yang terkirim tidak direspon sama sekali atau lebih tepatnya gagal karena nomor yang didapat salah. Ketika akhirnya mendapat nomor ponsel yang baru dan bisa dihubungi, terdengar suara vokalis yang merupakan ibu dari dua orang anak ini terisak-isak seperti orang tengah menangis. Entah kenapa. Akhirnya kami berjanji untuk melakukan sesi wawancara eksklusif pada hari itu juga (15/7) di sebuah cafe di Pondok Indah Mall I.

Ajaibnya, ketika bertemu tak terpancar sama sekali raut wajah kesedihan atau sisa tangis yang saya denger beberapa jam sebelumnya. Kikan terlihat santai, dengan lugas dan ramah menjawab semua pertanyaan serta menceritakan segalanya kepada Rolling Stone, termasuk banyak di antaranya berbagai cerita penuh ”jebakan” off the record yang haram untuk dipublikasikan ke khalayak luas. Sesuatu yang sangat saya sesali tentunya.

Sebagai salah seorang dari sedikit saja vokalis band perempuan yang memiliki suara sangat berkarakter dan bahkan menjadi penanda utuh identitas Cokelat selain musik mereka, maka mundurnya Kikan jelas sebuah kehilangan besar bagi Cokelat dan tentunya para Bintang Kita. Masa depan band ini pun kontan dipertanyakan.

Selama lebih kurang dua jam lamanya pemilik nama lengkap Namara Surtikanti (33 tahun) ini bercerita panjang lebar tentang alasan utamanya mundur dari band yang selama 14 tahun ikut membesarkan namanya, rencana karir solo, hubungan persahabatannya kini dengan para personel Cokelat yang lain, serta ketakutan sekaligus keinginannya untuk menyaksikan panggung pertama Cokelat bersama vokalis baru, Sarah Hadju. Berikut kutipannya

Mengapa Anda mundur dari Cokelat?
Mau alasan klise atau off the record? (tertawa) Sebetulnya ada beberapa alasan, tapi yang paling utama memang, sama seperti yang anak-anak (para personel Cokelat) bilang, karena gue merasa serba salah. Gue tidak bisa lagi mengikuti ritme kerjanya Cokelat, sementara kalau mereka harus beradaptasi dengan jadwal gue, kasihan mereka. Sebenarnya ini masalah yang cukup lama, bolak balik kami selalu mencoba mencari jalan keluar yang enak bagi kedua belah pihak. Sebenarnya ini bukan sebuah keputusan yang gampang, karena kalau nggak sama Cokelat sebenarnya gue juga nggak tahu mau apa lagi. Memang kalau mau dilihat lagi, gue cewek sendiri dengan empat cowok yang masing-masing berfungsi sebagai kepala keluarga di Cokelat ini. Gue berbeda dengan mereka, selain itu gue single parent, dua anak gue sudah semakin gede, butuh perhatian lebih dari gue dan segala macamnya. Gue sangat mengerti kalau para cowok-cowok ini nggak mungkin bisa mengikuti kemauan gue selamanya, jadi akhirnya sering terjadi bentrokan kepentingan. Akhirnya karena kasihan mereka pengen berlari sementara gue seperti berjalan di tempat, akhirnya gue mengambil keputusan untuk mundur dari band. Memutuskan gue resign dari band itu, bagi gue pribadi berat banget, tapi gue rasa anak-anak mengerti banget lah, apalagi kami sudah puluhan tahun ngeband dan mereka sering melihat sendiri bagaimana sulitnya, jatuh bangunnya gue, dengan jadwal, anak-anak gue dan segala macamnya.

Jadi Anda sebenarnya sudah lama ingin mengundurkan diri dari Cokelat?
Sebenarnya bukan untuk resign-nya ya, tapi ritme kerja band ini menjadi masalah. Itu sejak gue mulai punya anak pertama. Artinya dari tujuh tahun yang lalu. Akhirnya suka nggak suka, mau nggak mau, memang ada masanya gue ikut merintis Cokelat dari nol, saat gue belum menikah dan mempunyai anak itu gue bisa sebebas merpati, mau ngapain aja sesuka hati. Ketika punya anak akhirnya pelan-pelan memang terjadi perubahan.

Apakah Anda memutuskan untuk berhenti main musik selamanya atau hanya berhenti bermain musik bersama Cokelat?
Sebetulnya inti dari mundurnya gue ini, gue pengen rehat. Tapi mengingat skill-nya cuma main musik dan menyanyi, akhirnya gue tetap butuh uang. Nggak munafiklah, bagaimana gue menghidupi anak-anak gue nantinya? Sebetulnya gue kemarin sudah hampir memutuskan apakah mau seimbang atau mengejar duit? Karena kalau di band kan nggak bisa memutuskan sendirian, semua untuk kepentingan bersama. Kalau gue nggak mau mengambil satu job maka anak-anak crew gue bisa nggak makan nanti. Itu yang berat. Sebenarnya harapan gue dengan resign ini, gue punya kuasa lebih banyak atas diri gue sendiri, untuk memutuskan kapan gue mau bekerja dan kapan mau berlibur. Itu yang mungkin selama ini nggak bisa gue dapat di Cokelat. Dan gue pastinya hanya akan tetap main musik karena gue hanya bisa hidup dari situ.

Berarti Anda akan segera memulai karir solo setelah ini?
Agak terlalu serius ya? Karena sebenarnya gue nggak punya atensi untuk ke sana ya sementara ini.

Tadi Anda bilang sendiri kalau ngeband lebih sulit memegang kontrol atas kehidupan pribadi?
Iya, tapi untuk berkarir solo gue kayaknya belum terpikir sampai sejauh itu. Walaupun memang banyak banget orang yang menyangka gue resigned karena mau karir solo. Buat gue, antara ngeband dan solo itu tanggung jawabnya sama besarnya. Nanti gue harus melakukan semuanya sendirian. Produce sendiri dan bla bla blanya. Yang pasti sebenarnya gue ingin break dari semua ke-hectic-an ini. Jadi sementara ini kalau gue masih nyanyi itu mungkin kasarnya cuma ngamen aja, job-job lepas. Untuk karir solo yang pasti tidak dalam waktu dekat inilah...

Kalau membuat band baru?
OK, sebenarnya begini. Saat ini gue memang mempunyai satu proyek band tapi band ini dipersiapkan bukan sebagai satu proyek utama, ini lebih hanya untuk menyambung hidup gue saja. Setelah gue nggak sama Cokelat, kalau ada tawaran manggung nanti gue mau manggung dengan siapa? Tapi kalau untuk gue membuat sebuah band baru yang serius dan membuat album kayaknya gue perlu berpikir cukup lama lagi, untuk mendapatkan chemistry, mencari personel baru pasti sulit, apalagi selama 14 tahun gue sudah bersama-sama Cokelat. Belum tentu gue mendapat partner yang seasik mereka.

Persisnya kapan Anda mulai mundur dari Cokelat?
Gue resmi resigned itu sebenarya sejak 20 Mei 2010. Akhir Maret gue mulai ngomong dengan mereka namun pas menandatangani surat mundurnya gue dari Cokelat itu pada tanggal 20 Mei 2010. Tapi memang karena gue merasa pengunduran diri gue ini adalah sebuah keputusan yang akan membuat ribet banyak banget pihak, terutama dari Cokelat. Waktu itu gue pernah mengeluarkan statement bahwa gue nggak ingin ada satu periode dimana Cokelat nggak bisa manggung karena belum mempunyai vokalis lagi, jadi selama mereka belum mendapatkan pengganti maka gue akan terus membantu mereka. Ini berlaku untuk konser-konser yang sudah teken kontrak atau yang akan datang. Sampai 28 Juni kemarin (bukan 4 Juli seperti ditulis sebelumnya) gue masih membantu mereka. Itu show terakhir gue bersama Cokelat di PRJ.

Publik sangat sulit memisahkan Kikan dengan Cokelat, kalian seperti tidak bisa dipisahkan, ketika Anda mundur pernah terpikir bahwa keputusan itu berdampak besar bagi kehidupan para personel lainnya?
Gue selalu melihatnya dari dua sisi ya. Tidak bisa dipungkiri selama 14 tahun bersama Cokelat orang melihat image Cokelat itu sangat gue, bukan Cokelat kalau nggak ada Kikan, gue rasa orang seharusnya bisa melihat sebaliknya bahwa gue bukan siapa-siapa tanpa Cokelat. Bahwa gue akhirnya menjadi orang paling depan dan melihat image Cokelat sebagai gue itu rasanya terjadi di semua band ya? Image vokalis memang selalu dominan di semua band. Walau gue banyak bikin lagu dan bikin lirik, tapi gue yakin hasil akhir itu selalu ada di tangan kami berlima. Mungkin orang nggak banyak tahu bahwa Edwin, Ernest dan Ronny itu juga banyak menciptakan lagu. Dan mudah-mudahan stigma bahwa Cokelat nggak bisa apa-apa lagi tanpa gue itu tidak terbukti. Mungkin dengan tidak ada gue warnanya akan sedikit berubah...

Kamis, 29 Juli 2010

Tentang Band


CIAMIS, JAWA BARAT

28/07/10

Kenyataannya banyak orang beresiko
kelaparan bahkan sudah mengalami
kelaparan di musik meskipun tentu saja

ada yang telah sukses luar biasa, dan
hanya orang-orang yang telah sukses
seperti ini yang bisa menjadi
inspirasi buat mereka yang masih
berjuang di bawah.

Ini adalah sebuah gambaran yang
menakutkan jika kita memilih karir di
musik. Kita harus mengetahui kenyataan
berkarir di musik tidak semudah
seperti yang orang banyak pikirkan
(mungkin …). Jangan kita melihat
kesuksesan dari apa yang sudah
terekspos. Perjuangan untuk sampai di
puncak yang tidak terekspos media
perlu di jadikan acuan dan pelajaran
berharga bagi kita yang baru
memulainya. Setiap band sukses
memiliki proses dan perjuangan yang
panjang.
Mungkin ada yang beruntung bisa
langsung nge-hit tanpa perjuangan yang
signifikan. Adakah? Mungkin ada. Tapi
kita tidak pernah tahu apa yang mereka
lakukan ketika berada diatas. Semakin
sukses maka semakin besar perjuangan
agar tetap eksis dan karyanya diterima
masyarakat. Setiap band pasti tidak
ingin hanya nge-boom di album
perdananya saja bukan? Mereka yang
sudah diatas tentu tetap berjuang.
Mungkin mereka yang sudah nge-boom
juga di bayangi ketakutan dan bertanya
bagaimana jika album mereka
selanjutny anjlok, atau mungkin
beberapa sebab lainnya yang membuat
karir mereka berakhir. Kita semua
dalam proses perjuangan baik yang
sudah diatas maupun yang belum jadi
apa-apa.

Berkarir di musik memang penuh dengan
liku-liku. Namun ini berlaku tidak
hanya di musik saja. Setiap pilihan
dan keputusan pasti mengandung resiko.
Jika kita melihat hanya dalam konteks
yang menakutkan maka sebaiknya kita
bersiap untuk mengundurkan diri. Kita
perlu mengaitkan kenikmatan dan
kesuksesan yang besar dalam bermusik,
lebih besar dari pada kepedihan selama
proses yang penuh liku-liku dan
mendebarkan. Yang terakhir, kita perlu
bertanya pada diri sendiri apakah
memang musik yang benar-benar kita
inginkan?

virly zendsud

Bagaimana pendapat anda tentang band ini..??